Sabtu, 24 Maret 2012

Satu Bumi, Satu Cita

Satu Bumi, Satu Cita


Subuh baru saja dimulai di desa ini, Kelayu. Kurang dari sejam lagi semua akan berubah cerah. Terlihat terang karena mentari akan hangati bumi. Ada yang berbeda? Tidak. Semua rasa masih sama. Hawa dingin pagi masih sama, tapi entah asa ini akankah sama? Pagi ini pasti beda dengan pagi seribu tahun lalu dan akan berbeda dengan seribu tahun lagi. Walau rasa masih terasa sama, saya gak yakin akan sama di tahun-tahun berikutnya.

Kenapa? Karena setahun lalu saja, desa ini tak seperti sekarang. Semakin banyak sawah berkurang, semakin banyak hutan tak lagi sama. Malah berkurang. Akibatnya, debit di mata air hutan lemor, suela, dekat sekolah saya pun sudah mulai berkurang, jumlah titik mata air pun bernasib sama. Begitu saya tulis di naskah buku “Daun Daur Kehidupan” penganyaan yang saya kirim ke Pusat Perbukuan Diknas Pusat.

Apa artinya saya percaya dengan teori (sebenarnya saya lebih percaya itu sebagai konspirasi, ketimbang teori) Climate Change Al Gore? Tidak. Karena memang perubahan iklim terus saja terjadi secara alami dari tahun ke tahun, sedangkan akibat dari yang terjadi hari ini : banjir, kutub mencair, beruang kutub berkurang, debit mata air berkurang, dll-- tentu adalah karena ulah manusia. Dan itu terjadi tidak memengaruhi bumi secara global. Lalu emisi? Emisi benar memengaruhi subu suatu daerah dan itu tidak memengaruhi bumi secara global. Di sinilah letak kerawanan berpikir globalisasi, semua dianggap satu, unity, tidak melihat akar masalah.

Dan ini pula yang dijadikan tawar-menawar merativikasi emisi gas karbon. Dan tentu saja, negara adidaya selalu menolak itu. Negara berkembang harus dikorbankan. Dan di sinilah kita, seperti yang pernah saya tulis tahun lalu, dibodohi bertahun-tahun. Tapi terlepas dari itu, saya, harus mengajak pembaca untuk terus menjaga kelestarian lingkungan. Karena mau tak mau kita akan terus berhubungan langsung terhadap alam sekitar. So, lets green, lets greeny.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar